AKUNTANSI SYARIAH BIDANG BARU STUDI
AKUNTANSI
- PENDAHULUAN
Seiring
dengan meningkatnya rasa keberagamaan (religiusitas) masyarakat Muslim
menjalankan syariah Islam dalam kehidupan sosial-ekonomi, semakin banyak
institusi bisnis Islami yang menjalankan kegiatan operasional dan usahanya
berlandaskan prinsip syariah. Untuk mengelola institusi Islami ini diperlukan
pencatatan transaksi dan pelaporan keuangan. Pencatatan akuntansi dan pelaporan
keuangan dengan karakteristik tertentu yang sesuai dengan syariah. Pencatatan
transaksi dan pelaporan keuangan yang diterapkan pada institusi bisnis Islami
inilah yang kemudian berkembang menjadi akuntansi syariah. Akuntansi syariah
(shari’a accounting) menurut Karim (1990) merupakan bidang baru dalam studi
akuntansi yang dikembangkan berlandaskan nilai-nilai, etika dan syariah Islam,
oleh karenanya dikenal juga sebagaiakuntansiIslam (Islamic Accounting).
Perkembangan
akuntansi sebagai salah satu cabang ilmu sosial telah mengalami pergeseran
nilai yang sangat mendasar dan berarti, terutama mengenai kerangka teori yang
mendasari dituntut mengikuti perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Karim(1990:3) mengemukakan bahwa selama ini yang digunakan sebagai dasar
kontruksi teori akuntansi lahir dari konteks budaya dan idiologi. Demikian
halnya dengan kontruksi akuntansi konvensional menjadi akuntansi Islam
(syariah) yang lahir dari nilai-nilai budaya masyarakat dan ajaran syariah
Islam yang dipraktikan dalam kehidupan sosial-ekonomi (Hammed:1997).
Akuntansi
syariah dapat dipandang sebagai kontruksi sosial masyarakat Islam guna
menerapkan ekonomi Islam dalam kegiatan ekonomi. Akuntansi syariah merupakan
sub-sistem dari system ekonomi dan keuangan Islam, digunakan sebagai instrument
pendukung penerapan nilai-nilai Islami dalam ranah akuntansi, fungsi utamanya
adalah sebagai alat manajemen menyediakan informasi kepada pihak internal dan
eksternal organisasi (Hasyshi: 1986; Baydoun dan Willet, 2000 serta Harahap,
2001).
Motivasi
para pakar dan akademisi akuntansi terutama dari kalangan orang-orang Muslim
guna mengkaji dan mengembangkan akuntansi syariah semakin meningkat. Setelah
mengetahui beberapa peneliti (Gray, 1988; Perera, 1989; Hamid et al., 1993;
Baydoun dan Willet, 1994) yang menguji hubungan antara budaya, religi dan
akuntansi, menyatakan bahwa budaya secara umum dan Islam secara khusus
mempengaruhi bentuk-bentuk akuntansinya. Sebagaimana dikemukakan oleh Gaffikin
dan Triyuwono (1996) akuntansi adalah refleksi dari sebuah realitas yang
idealnya dibangun dan dipraktikan berdasarkan nilai-nilai dan etika.
Nilai-nilai dan etika orang Muslim adalah syariah, maka alternatif terbaik
pengembangan akuntansi syariah adalah menggunakan pemikiran yang sesuai dengan
syariah. Untuk memahami pengertian akuntansi syariah, dapat mengacu pada
definisi akuntansi syariah yang dikemukakan oleh Hameed (2003) yaitu:
Berangkat dari definisi-definisi akuntansi tersebut di atas, akuntansi syariah dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai berikut: “Akuntansi syariah adalah suatu proses, metode, dan teknik pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran transaksi, dan kejadian-kejadian yang bersifat keuangan dalam bentuk satuan uang, guna mengidentifikasikan, mengukur, dan menyampaikan informasi suatu entitas ekonomi yang pengelolaan usahanya berlandaskan syariah, untuk dapat digunakan sebagai bahan mengambil keputusan-keputusan ekonomi dan memilih alternative-alternatif tindakan bagi para pemakainya”. Perkembangan akuntansi sebagai salah satu cabang ilmu sosial telah mengalami pergeseran nilai yang sangat mendasar dituntut mengikuti perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kam (1990:3) mengemukakan bahwa selama ini yang digunakan sebagai dasar kontruksi teori akuntansi lahir dari konteks budaya dan idiologi.
Berangkat dari definisi-definisi akuntansi tersebut di atas, akuntansi syariah dalam arti sempit dapat didefinisikan sebagai berikut: “Akuntansi syariah adalah suatu proses, metode, dan teknik pencatatan, penggolongan, pengikhtisaran transaksi, dan kejadian-kejadian yang bersifat keuangan dalam bentuk satuan uang, guna mengidentifikasikan, mengukur, dan menyampaikan informasi suatu entitas ekonomi yang pengelolaan usahanya berlandaskan syariah, untuk dapat digunakan sebagai bahan mengambil keputusan-keputusan ekonomi dan memilih alternative-alternatif tindakan bagi para pemakainya”. Perkembangan akuntansi sebagai salah satu cabang ilmu sosial telah mengalami pergeseran nilai yang sangat mendasar dituntut mengikuti perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kam (1990:3) mengemukakan bahwa selama ini yang digunakan sebagai dasar kontruksi teori akuntansi lahir dari konteks budaya dan idiologi.
Demikian
halnya dengan kontruksi akuntansi konvensional menjadi akuntansi Islam
(syariah) yang lahir dari nilai-nilai budaya masyarakat dan ajaran Islam yang
dipraktikan dalam kehidupan sosial-ekonomi (Hameed, 1997). Oleh karenanya
akuntansi syariah dapat dipandang sebagai kontruksi sosial masyarakat Islam
guna menerapkan praktik-praktik ekonomi Islam dalam kehidupan sosial-ekonomi.
B. Akuntansi
Syariah dalam Epistimologi Islam
Kerangka
konseptual akuntansi syariah sebagaimana telah dikemukakan di atas dirumuskan
menggunakan pendekatan epistimologi Islam. Epistimologi adalah cabang filsafat
yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan, secara harfiah epistimologi
berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahuan (Suria Sumantri,
1991). Dalam lingkup filsafat ilmu, epistimologi mengandung pengertian sebagai
metode memperoleh pengetahuan agar memiliki karakteristik, kebenaran, dan
nilai-nilai tertentu sebagai ilmu (Chalmers, 1991).
Dalam
konteks epistimologi sebagai metode memperoleh pengetahuan ilmu, epistimologi
Islam diperlukan guna memperoleh pengetahuan yang diharapkan memiliki
karakteristik, kebenaran dan nilai-nilai Islami. Epistimologi Islam adalah
metode memperoleh pengetahuan ilmu yang Islami melalui proses penalaran yang
sistematis, logis dan sangat mendalam menggunakan “ijtihad” yang dibangun atas
kesadaran sebagai khalifatullah fii-ardl (lihat Syafi’i, 2000 dan Triyuwono,
2000). Prinsip dasar paradigma syariah merupakan multi paradigma yang holistic,
mencakup keseluruhan dimensi wilayah mikro dan makro dalam kehidupan manusia
yang saling terkait. Pertama, dimensi mikro prinsip dasar paradigma syariah
adalah individu yang beriman kepada Allah SWT (tauhid) serta mentaati segala
aturan dan larangan yang tertuang dalam Al-Qur’an,Al Hadits, Fiqh, dan hasil
ijtihad. Landasan tauhid diperlukan untuk mencapai tujuan syariah yaitu
menciptakan keadilan sosial (al a’dl dan al ihsan) serta kebahagiaan dunia dan
akhirat. Pencapaian tujuan syariah tersebut dilakukan menggunakan etika dan
moral iman (faith), taqwa (piety), kebaikan (righteoneus/birr), ibadah
(worship), tanggungjawab (responsibility/fardh), usaha (free will/ikhtiyar),
hubungan dengan Allah dan manusia (Habluminallah dan Habluminannas), serta
barokah (blessing). Kedua, dimensi makro prinsip syariah adalah meliputi
wilayah politik,ekonomi dan sosial. Dalam dimensi politik, menjunjung tinggi
musyawarah dan kerjasama. Sedangkan dalam dimensi ekonomi, melakukan usaha
halal, mematuhi larangan bunga, dan memenuhi kewajiban zakat. Selanjutnya dalam
dimensi sosial yaitu mengutamakan kepentingan umum dan amanah. Produk akhir
teknik akuntansi syariah adalah informasi akuntansi yang akurat untuk
menghitung zakat dan pertanggungjawaban kepada Allah SWT dengan berlandaskan
moral, iman dan taqwa.
Dengan
demikian dalam hal akuntansi syariah sebagai alat pertanggungjawaban, diwakili
informasi akuntansi syariah dalam bentuk laporan keuangan yang sesuai dengan
syariah yaitu mematuhi prinsip full disclousure. Laporan keuangan akuntansi
syariah tidak lagi berorientasi pada maksimasi laba, akan tetapi membawa pesan
modal dalam menstimuli perilaku etis dan adil terhadap semua pihak. Jenis
laporan keuangan akuntansi syariah yang memenuhi criteria ini menurut Harahap
(2000) meliputi” Neraca, yang menyajikan pula Laporan Sumber daya Manusia.
Laporan Nilai Tambah (Value Added Reporting) yang menyajikan semua hasil yang
diperoleh perusahaan dari kontribusi semua pihak yang terkait dengan entitas,
dan kemudian mendistribusikannya secara adil. Laporan Arus Kas (Cash Flow).
Laporan Pertanggungjawaban Sosial Perusahaan (Socio Economy Accounting
Reporting). Catatan atas Laporan Keuangan, mengenai implementasi syariah
misalnya zakat, infaq, shodaqoh, transaksi haram, dan laporan dewan syariah.
Melaporkan good governance, mengenai produksi, efisiensi, produktivitas, dan
laporan lainnya yang relevan.
- Prinsip Akuntansi Syariah
Dasar
hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma
(kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu), dan ‘Uruf
(adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah
Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah
Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan
norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi
sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.
Persamaan
kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal
sebagai berikut:
1. Prinsip pemisahan
jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2. Prinsip penahunan
(hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3. Prinsip pembukuan
langsung dengan pencatatan bertanggal;
4. Prinsip kesaksian
dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5. Prinsip perbandingan
(muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
6. Prinsip kontinuitas
(istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7. Prinsip keterangan (idhah)
dengan penjelasan atau pemberitahuan.
Sedangkan
perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi
Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:
1.
Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau
harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud
dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam
menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan
melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang
dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
2.
Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu
modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di
dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash)
dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik
dan barang dagang;
3.
Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama
kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara
untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau
nilai;
4.
Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari
menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang
bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan
cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku
serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
5.
Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang,
modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam
konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal
dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib
menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha
menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh
para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra
usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
6.
Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya
jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika
adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual
maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk
menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.
Dengan
demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah
Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok,
sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.
D.
Dasar Hukum Akuntansi Syariah
Dasar
hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari :
1. Al Quran,
2. Sunah Nabwiyyah,
3. Ijma (kespakatan
para ulama),
4. Qiyas (persamaan
suatu peristiwa tertentu),
5. ‘Uruf (adat
kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam
E.
Tujuan Akuntansi Syariah
Segala
aturan yang diturunkan Allah swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya
kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan,
dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi,
tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Terdapat
tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat
bagi seluruh umat manusia, yaitu:
1.
Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat
dan lingkungannya.
2.
Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek
kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3.
Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa
maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar.
F.
Perbandingan antara Akutansi
Konvensional dan Akutansi Syariah
Akutansi
dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang
mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya,
akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang
digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan
dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati
yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.2 Mereka
berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara
umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa
menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free).
Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa
menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu,
pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek
akutansi.3 Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala
Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam
praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi
semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat
horisontal bukan horisontal dan vertikal).
Akutansi
sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati
dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh
kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk
oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat
pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas
sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia.
Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk
ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free),
tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai
(value-free).4
Dalam
laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and
Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises,
disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:
1.
Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan
kewajiban perusahaan.
2.
Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang
berasal dari kegiatan usaha dalam mencari laba.
3.
Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi
perusahaan dalam menghasilkan laba.
4.
Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan
kewajiban.
5.
Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.
Dari
kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian
informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan
kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.5
Dalam
Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan
keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan.
Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan
lainnya.
Dari
beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional
sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah
hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders
dan entity-nya dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka
hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).
Akutansi
shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi
sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan
pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan
dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul
sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika,
epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai
etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan
kemashlahatan manusia karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan
dengan urusan dunia (sekuler).
Usaha
untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya
muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi.
Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi
shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi
berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).
Akuntansi
shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan
informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan
tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa
akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara
stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai
akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa
benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun
sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan
dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. dan
yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.
Mengapa
bisa demikian? Karena akutansi shari’ah memandang bahwa organisasi ini sebagai
interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya
ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain
yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.10 Bahkan
Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect
participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan
juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.11
Dengan
berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah
memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah
sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja
tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung
jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk
di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah
(Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada
“Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada
“Sang Raja”.
Laporan
keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri
untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia
diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh
aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu
sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan
akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga
keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan
karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi
konvensional.
Komite
Akuntansi Syariah bersama dengan Dewan Standar Akuntansi Keuangan – Ikatan
Akuntan Indonesia tahun 2007 telah mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan untuk transaksi kegiatan usaha dengan mempergunakan akuntansi
berdasarkan kaidah syariah. Berikut ini daftar Standar Akutansi Keuangan yang
juga akan berlaku bagi perbankan syariah :
1. Kerangka Dasar
Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah,
2. PSAK 101 tentang
Penyajian Laporan Keuangan Syariah,
3. PSAK 102 tentang
Akuntansi Murabahah,
4. PSAK 103 tentang
Akuntansi Salam,
5. PSAK 104 tentang
Akuntansi Istishna’,
6. PSAK 105 tentang
Akuntansi Mudharabah,
7. PSAK 106 tentang
Akuntansi Musyarakah.
DAFTAR PUSTAKA
http://aharlibrary.wordpress.com/2007/03/15/mengenal-prinsip-akuntansi-syariah/
0 comments:
Post a Comment