BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan zaman menuntut
keefisienan dan keefektifan dalam semua bidang. Keberadaan modernisasi yang
tentu dipahami juga akibat desakan kekuatan kapitalis modern mendorong
berdirinya pasar modern di tengah – tengah masyarakat Indonesia. Dalam jangka
waktu singkat, para pelaku usaha ritel modern dengan kemampuan kapital yang
luar biasa memanjakan konsumen dengan berbagai hal positif terkait kenyamanan
saat berbelanja, keamanan, kemudahan, variasi produk yang kian beragam,
kualitas produk yang makin meningkat, dan harga yang makin murah karena adanya
persaingan.
Tetapi, meskipun kontribusi pasar
modern terhadap pertumbuhan industri ritel di Indonesia menguntungkan konsumen,
pertumbuhan ritel modern ternyata mendatangkan persoalan tersendiri berupa kian
tersingkirnya hasil pertanian, perikanan, dan peternakan dalam negeri dari meja
makan masyarakat Indonesia. Pasar modern memiliki standar kualitas yang tak
mampu dipenuhi oleh hasil pertanian Indonesia, sehingga untuk kebutuhan pangan
yang sebenarnya sudah ada di Indonesia, seperti daging, sayur, dan buah pun,
harus didatangkan dari luar negeri agar mampu memenuhi standar kualitas mereka.
Di sisi lain, nasib pasar
tradisional yang menjadi saluran distribusi utama hasil pertanian rakyat
Indonesia, saat ini berada di ujung tanduk karena tak mampu bersaing dengan
pasar modern. Padahal tidak sedikit masyarakat yang menggantungkan hidupnya
kepada pasar tradional. Ketika dilanda krisis ekonomi, pasar tradisional mampu
menjadi penopang hidup sebagian masyarakat Indonesia, baik yang berprofesi
sebagai pedagang, maupun para petani yang hanya mampu memasarkan hasil
pertaniannya lewat pasar rakyat ini. Dengan semakin tergerusnya pasar
tradisional berimbas pada para pemasok lokal yang pada umumnya tidak bisa masuk
ke pengecer besar.
Pertumbuhan pasar modern terbukti
membahayakan posisi pasar tradisional dan ritel-ritel tradisional lain di
sekitarnya.. Sebagai akibat kebijakan Pemda yang mengijinkan pembangunan banyak
pasar modern, menurut Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), sejak
tahun 2004, delapan pasar di Jakarta tutup karena ditinggalkan pembelinya dan
overhead cost cukup tinggi, yaitu pasar Blora, Cilincing, Cipinang Baru, Kramat
Jaya, Muncang, Prumpung Tengah, Sinar Utara dan Karet Pedurenan. Pedagang yang
menganggur diperkirakan sedikitnya mencapai 2.100 pedagang. Pedagang yang
bertahan sampai saat ini mengalami penurunan omzet hingga 75 persen. Sedangkan
pasar-pasar tradisional lain di wilayah Jakarta, tingkat huniannya hanya 40-60%
serta ditinggalkan pembelinya. Catatan APPSI menyebutkan, dari keseluruhan 151
pasar tradisional di Jakarta, terdapat 51 pasar yang berdekatan dengan pasar
modern dan yang berdekatan dengan hipermarket ada 45 pasar, dengan rata-rata
radius kedekatan kurang dari 2,5 km. Contohnya pasar Mede dan Pasar Pondok
Pinang, Pondok Indah berdekatan dengan Carrefour dan Giant Lebak Bulus. Di
Cempaka Mas, Carrefour berdekatan dengan Pasar Cempaka Putih, Pasar Gembrong
dan Pasar Sumur Batu. Di Depok, dalam radius lima kilometer dari terminal Depok
terdapat tiga pasar tradisional (Pasar Kemiri Muka, Pasar Depok Jaya dan Pasar
Lama) dan disekitar itu pula di bangun 5 pasar modern (Margocity, Depok Town
Square, Plaza Depok, Mall Depok, dan ITC Depok ).
Banyak kasus yang terjadi bukan
hanya di Jakarta, tetapi hampir seluruh wilayah di Indonesia pasar tradisional
dan pasar modern mengalami hal serupa. Hingga tahun 2006, berdasarkan data AC
Nielsen pasar di Indonesia mengalami pertumbuhan mencapai 31,4 % per tahun,
sedangkan pasar tradisional menyusut hingga 8,1 % per tahun. Hasil penelitian TN. Sofres di Hongkong,
meskipun pasar tradisional tetap bertahan tetapi terjadi penurunan jumlah
pelanggan. Ini diakibatkan adanya promosi yang dilakukan pasar modern yang
sangat gencar. Padahal Hongkong telah menerapkan regulasi tata wilayah
pendirian pasar modern tidak boleh berdekatan dengan pasar tradisional.
Sangatlah mengenaskan ketika pasar
tradisional harus dihadapkan pada pasar modern “face to face” dan lebih tragis
lagi hampir tidak adanya keberpihakan pemerintah kepada pasar tradisional,
berakibat pada kian menajamnya kesenjangan sosial. Pemerataan pendapatan takkan
tercapai jika media utama aktivitas perekonomian rakyat ekonomi lemah,
dibiarkan tersisih. Pemberdayaan pasar tradisional sebagai wadah ekonomi mikro
mutlak diperlukan.
Berdasarkan latar belakang diatas,
fenomena perkembangan dan dampak pasar modern di Indonesia perlu diangkat
menjadi sebuah karya tulis untuk mendeskripsikan konsep pasar tradisional ke
depan untuk melawan arus perkembangan pasar modern.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
telah dikemukakan, permasalahan yang akan diangkat adalah :
1.
Mendeskripsikan dampak pasar modern terhadap kondisi pasar tradisional
dan perekonomian Indonesia.
2. Menjelaskan
model pengembangan pasar tradisional ditengah merebaknya pasar modern di Indonesia.
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan karya ilmiah ini
adalah :
1. Memberikan
gambaran tentang pengaruh pasar modern terhadap pasar tradisional dan kondisi
perekonomian Indonesia.
2. Memberikan
solusi model pengembangan pasar tradisional ditengah merebaknya pasar modern di Indonesia.
D. Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diambil
dalam penulisan karya ilmiah ini adalah :
1. Manfaat
praktis
Hasil karya tulis ini diharapkan dapat membuka dan menambah
wawasan serta memperbanyak informasi mengenai fenomena pertumbuhan pasar modern
serta pengaruhnya terhadap pasar tradisional dan perekonomian Indonesia.
2. Manfaat
teoritis
Bagi kalangan akademisi, karya tulis ini diharapkan dapat
memperkaya dan memberikan sumbangan wacana konseptual bagi pengembangan kajian
teori dan kebijakan ekonomi.
E. Sistematika
Penulisan
Sistematika penulisan terdiri dari
lima bab, yaitu :
a. BAB I terdiri
atas pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.
b. BAB II
mengkaji telaah pustaka yang berisi tentang pasar tradisional, pasar modern,
dan regulasi yang mengatur tentang keduanya.
c. BAB III
terdiri atas pendekatan penulisan, sasaran penulisan, sumber kajian, prosedur
penulisan, dan sistematika penilisan karya ilmiah.
d. BAB IV
membahas mengenai analisis dampak perkembangan pasar modern serta model
pengembangan pasar tradisional agar mampu bertahan dalam persaingan dengan
pasar modern.
e. BAB V
merupakan bab terakhir yang berisikan simpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan
Perkembangan Pasar
Pasar tradisional merupakan tempat
bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya transaksi penjual
dan pembeli secara langsung, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau
gerai, los, dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola
pasar. Seiring dengan perkembangan jaman, pasar mengalami perkembangan baik
secara fisik (bangunan) dan non fisik (pelayanan). Pasar berkembang menjadi
sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi karena faktor modernisasi. Istilah pasar
tradisional dan pasar modern pun muncul kepermukaan. Keberadaan pasar yang
kumuh, becek dan sempit mulai terlupakan
dengan kehadiran pasar modern di tengah – tengah masyarakat.
Pasar modern adalah pasar yang
dikelola oleh manajemen modern, umumnya terdapat di perkotaan, sebagai penyedia
barang dan jasa dengan mutu dan pelayanan yang baik kepada konsumen. Di pasar
modern, penjual dan pembeli tidak bertransaksi secara langsung melainkan
pembeli melihat label harga yang tercantum dalam barang (barcode), berada dalam
bangunan, dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) atau dilayani
oleh pramuniaga. Pasar modern antara lain supermarket, mall, mini market,
shopping centre, department store, dan sebagainya. Barang yang di jual memiliki variasi jenis yang beragam dan mempunyai
kualitas yang relatif lebih terjamin karena melalui penyeleksian terlebih
dahulu secara ketat. Secara kuantitas, pasar modern umumnya mempunyai barang
persediaan di gudang yang terukur. Dari segi harga, pasar modern memiliki label
harga yang pasti ( tercantum harga sebelum dan setelah pajak). Pasar modern
juga memberikan pelayanan yang baik dengan adanya alat pendingin udara. (jurnal
pengkajian koperasi dan ukm, 2006)
B. Kondisi Pasar
Tradisional dan Kondisi Pasar Modern
1) Kondisi Pasar
Tradisional.
Saat ini ada lebih dari 13.000
pasar tradisional di Indonesia. Disana berkumpul lebih dari 12,6 juta pedagang
setiap harinya. Jika setiap pedagang memiliki empat anggota keluarga, maka ada
sekitar 50 juta orang terkait pasar tradisional. Itu belum termasuk pemasok dan
konsumen yang bertransaksi di pasar tradisional itu. Umumnya pasar tradisional
dikunjungi oleh konsumen golongan menengah ke bawah. Berbeda dengan
supermarket, kebanyakan pasar tradisional merupakan milik pemda. Pemda di
Indonesia umumnya memiliki Dinas Pasar yang menangani dan mengelola pasar
tradisional. Dinas ini mengelola pasar miliknya sendiri atau bekerja sama
dengan swasta.
Sudah menjadi kebiasaan bagi Dinas
Pasar untuk menentukan target penerimaan tahunan untuk setiap pengelola pasar,
yang lazimnya meningkat setiap tahun. Kegagalan untuk memenuhi target umumnya
berdampak pada pergantian kepala pengelola pasar. Karena itu, tidaklah
mengherankan bila didapati banyak kepala pasar yang lebih mencurahkan perhatian
pada tugas untuk memenuhi target pemungutan retribusi daripada upaya
pengelolaan pasar dengan baik.
Pemerintah seyogianya menyediakan
dan memelihara infrastruktur layanan yang memadai bagi para pengguna jasa,
yakni kenyamanan berdagang dan kebersihan lingkungan pasar. Namun seperti
banyak dikeluhkan pedagang, kasus pencurian barang dagangan di kios dan kondisi
pasar yang kotor dan kurang sirkulasi udara telah menjadi kendala sehari-hari
di pasar tradisional. Keberadaan kumpulan PKL yang menjadi ”pasar saingan” bagi
pasar tradisional terdapat di hampir setiap lokasi pasar tradisional. Para PKL
yang menggelar dagangan di depan pasar sampai bahu jalan seringkali menimbulkan
kemacetan lalu lintas dan turut menimbulkan kesemrawutan dan ketidaknyaman
berbelanja di pasar tradisional.
Pembenahan pasar tradisional perlu
dilakukan, seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintah Thailand. Pasar sehat
telah diluncurkan oleh Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand bekerjasama dengan
swasta sejak tahun 2002. Dengan tujuan memberi kewenangan kepada pihak swasta
dalam hal ini badan pengembangan kota metropolitan Bangkok membangun secara
bertahap ribuan pasar tradisional menjadi pasar yang sehat. Tujuannya yaitu
untuk meningkatkan kualitas pasar sesuai dengan undang-undang kesehatan.
Berdasarkan standar dari Departemen Kesehatan Thailand, pasar sehat mempunyai
tiga kelompok indikator yaitu: lingkungan sehat, makanan yang aman dan
perlindungan konsumen. Dan pada tahun 2004, 75 % pasar di Kota Bangkok telah
memenuhi syarat sebagai pasar sehat ( 1.138 dari 1.505 pasar).
Salah satu model pasar sehat yang
sudah memperoleh pengakuan dari Departemen Kesehatan Thailand adalah Rangsit
Healthy Market. Sejak berdirinya pasar Rangsit Market pada tahun 1973 merupakan
pasar tradisional, dan walaupun dikelola dengan manajemen modern, sifat
tradisional masih dipertahankan mulai dari bentuk bangunan, produk makanan
tradisional, buah dan sayur produk lokal. Pengelolaan ditangani sepenuhnya oleh
swasta dibawah pengawasan Departemen Kesehatan Thailand. Setiap pasar harus
memenuhi kriteria manajemen lingkungan sehat, perlindungan konsumen, serta
setiap pedagang mendapatkan fasilitas air bersih dan pencegahan kecelakaan dan
kebakaran hanya dengan membayar 50 bath sehari.
Diantara berbagai kendala yang dihadapinya,
pasar tradisional tetap memiliki keunggulan dibanding pasar modern. Yaitu
adanya kepuasan psikologis yang didapat konsumen pasar tradisional melalui
proses tawar menawar dan potongan harga pada pelanggan setia serta rasa
kekeluargaan dengan saling bertegur sapa. Selain itu juga terdapat item-item
produk khas pasar tradisional yang tak dapat disajikan di pasar modern, seperti
jajanan khas dan produk-produk agro yang masih fresh langsung dari petani.
2) Kondisi Pasar
Modern
Dimulai pada era 90-an, pertumbuhan
pasar modern berkembang pesat. Bahkan berkembang semakin tidak terkendali pada
2000-an. Pasar modern tidak hanya merambah masyarakat berpendapatan menengah ke
atas. Mereka kini mulai ekspansi ke masyarakat kelas menengah ke bawah. Kondisi
ini mengakibatkan ruang bersaing pedagang pasar tradisional terus menyempit.
Pasar modern didirikan di
tempat-tempat strategis di tengah kota, di dekat pasar tradisional atau bahkan
menempel pasar tradisional, serta memberikan berbagai fasilitas kemudahan dan
kenyamanan dalam berbelanja bagi para pembelinya. Pasar modern memberikan nilai
lebih bagi pembeli, tak hanya mendapatkan barang kebutuhan, melainkan juga
menciptakan kebutuhan itu sendiri, melalui konsep wisata belanja dan prestise
sebagai trademark. Apalagi kini pengecer modern sudah mampu menyaingi harga
pasar tradisional yang sebelumnya dikenal murah. Akses langsung terhadap
produsen dapat menurunkan harga pokok penjualan, sehingga pasar modern mampu
menawarkan harga yang lebih rendah. Sebaliknya, pedagang pasar tradisional
dengan skala kecil dan mata rantai pemasaran yang panjang.
Kemampuan menarik konsumen
tersebut, dalam perkembangannya telah menjadi kekuatan sendiri bagi para pelaku
usaha ritel modern. Pemasok menjadi sangat tergantung kepadanya. Sehingga para
peritel modern membuat banyak persyaratan perdagangan yang terkesan dipaksakan
(Lampiran I). Karena posisi pemasok lemah, maka mereka tidak memiliki kemampuan
untuk menolak. Dalam perpektif persaingan usaha, selama persyaratan perdagangan
diberlakukan sama terhadap semua pelaku usaha pemasok (tidak diskriminatif),
tidak berdampak terhadap pelaku usaha ritel modern pesaing yang dipasok, dan
tidak mengganggu mekanisme pasar (mendistorsi pasar) secara keseluruhan, maka
persyaratan perdagangan tidak bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang
sehat sebagaimana diatur dalam UU No. 5 tahun 1999. Dari gambaran ini, maka
sekali lagi tampak bahwa permasalahan hubungan pemasok-ritel modern lebih
menyangkut kepada munculnya ketidaksebandingan posisi tawar antara pemasok dan
peritel modern.
Kondisi yang kompleks akibat ritel
modern ini, sesungguhnya telah terjadi di berbagai Negara dunia. Dan mereka
memilih pendekatan perlindungan dan pemberdayaan usaha kecil ritel. Misalnya
Thailand yang memberlakukan undang-undang ritel Royal Decree for Retail Act
yang berisi aturan zona, jam buka, harga barang, dan jenis ritel. Thailand
memberlakukan UU ini setelah berlangsung lima tahun, para pengusaha hipermarket
di negara Gajah Putih itu mengklaim bahwa bisnisnya berhasil memberikan
lapangan kerja bagi masyarakat setempat mencapai sedikitnya 20.000 orang tenaga
kerja. Tetapi pada periode yang sama, sebanyak 20 pasar tradisional yang ada di
Bangkok dan sekitarnya hanya tersisa dua gerai karena nasibnya sama dengan
sejumlah usaha ritel kecil, menengah dan koperasi yang tergilas oleh ritel
raksasa, dan pengangguran yang ditimbulkan mencapai 300.000 orang.
Dengan adanya UU tersebut maka
Bangkok memiliki zona perdagangan eceran. Misalnya southwest zone [zona barat daya],
southeast zone [zona tenggara], northeast zone [zona timur laut] sehingga dapat
ditarik garis vertikal dan horizontal untuk menentukan zona satu, dua, tiga,
empat dan lima. Setiap zona diperuntukkan bagi format ritel tertentu agar tidak
terjadi ketimpangan persaingan usaha ritel. Salah satu isi dari UU ritel
Thailand yakni penerapan zona atau tempat usaha satu jenis ritel, seperti
hipermarket berada pada zona empat atau lima, sedangkan zona satu hingga tiga
hanya diperuntukkan untuk warung tradisional, grosir dan supermarket. Aturan
zona juga melarang pusat perbelanjaan atau toko berskala besar pada daerah
padat arus lalu lintas.
Model pemberdayaan usaha kecil
ritel di Thailand dilakukan antara lain dengan mendirikan perusahaan negara
atau BUMN nonprofit Allied Retail Trade Co.(ART Co) dengan modal kerja sekitar
US$9,1 juta. Perusahaan tersebut bertugas melakukan pembelian barang dari
pabrikan dan kemudian disalurkan kepada jaringan toko-toko kecil dan warung
tradisional lainnya. Sehingga harga barang di pasar tradisional bisa lebih
murah daripada di pasar modern. Bank di Thailand juga memberi kemudahan kredit
bagi toko tradisional yang memodernisasi toko.
Di beberapa Negara lain pun model
perlindungan dan pemberdayaan tersebut juga terus dilakukan misalnya saja
Perancis yang membuat peraturan melarang lokasi hipermarket di tengah kota,
untuk mengatasi semakin tergusurnya warung kecil di negara itu karena
keberadaan ritel yang besar. Di Perancis, hanya ada satu Carrefour di luar
kota. Malaysia juga membuat peraturan distribution fair trade guna melindungi
pasar tradisional. Dengan regulasi-regulasi tersebut, maka akan dapat
mengendalikan ekspansi pasar modern.
C. Kebijakan
Pemerintah Mengenai Pasar Tradisional dan Pasar Modern
Dalam sidang UNCTAD (United Nation
Conference On Trade Distribution) telah
dibahas masalah pendirian bisnis ritel kelas kakap. Dalam sidangnya menyebutkan
bahwa negara berkembang harus berhati – hati dan selektif dalam pendirian
bisnis ritel besar. Juga harus mempersiapkan terlebih dahulu lokasi ritel lokal
(pasar tradisional) dengan pembukaan atau pembangunan ritel luar negeri (pasar
modern).
Thailand telah mengeluarkan Royal
Degree for Retail Act dan memiliki BUMN yang menjadi fasilitator antara bisnis
ritel kelas teri hingga kelas kakap. Dan masih banyak negara – negara lain yang
telah memberikan keberpihakan terhadap pasar tradisional di negaranya (Jepang,
Australia, Singapura. Prancis, Kanada, AS, Selandia Baru). Sedangkan di
Indonesia, Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern belum mengakomodasi
kepentingan pasar tradisional. Malah, isi pasal-pasalnya rancu serta cenderung
melegitimasi tumbuh suburnya pasar modern.
Salah satu peraturan yang rancu
dapat dilihat dalam pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan “Lokasi pendirian Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk
Peraturan Zonasinya.” serta ayat (2) yang mengatur batasan luas lantai
penjualan Toko Modern. Padahal dalam era otonomi daerah, dimana masing-masing
daerah menginginkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) instan bagi daerahnya, tak
jarang pemerintah daerah mengambil jalan pintas untuk menambah pendapatan
dengan menjual perijinan. Aturan ini juga masih kurang memadai untuk melindungi
zona pasar tradisional.. Dalam pasal 18 menyebutkan, pasar modern yang sudah
berdiri tidak perlu dibongkar. Padahal kalaupun sudah berdiri, seharusnya
direlokasi ke border city (di luar kota) dan harus jauh dari pasar tradisional
yang ada.
Terlebih lagi, jauh sebelumnya pada
tahun 2000, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan liberalisasi ritel dengan
mengeluarkan bisnis ritel dari daftar terlarang Penanaman Modal Asing (PMA)
melalui Keputusan Presiden No 96/2000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan
Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal dan
Keputusan Presiden No 118/2000 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor
96 Tahun 2000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka
Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal. Kebijakan ini ditunjang oleh
kebijakan lainnya, yakni Keputusan Menkeu No. 455/KMK.01/1997 tentang Pembelian
Saham oleh Pemodal Asing Melalui Pasar Modal, yang di dalamnya antara lain
mencabut ketentuan pembatasan pembelian saham oleh pemodal asing melalui pasar
modal dan bursa efek, sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menkeu No.
1055/KMK.013/1989. Melalui kebijakan ini, maka seluruh saham perusahaan yang
tercatat di Bursa Efek Jakarta, termasuk perusahaan ritel, boleh dimiliki oleh
pihak asing. Kebijakan tersebut telah menyebabkan tidak adanya pembatasan
kepemilikan dalam ritel skala besar oleh perusahaan asing.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Dampak
Perkembangan Pasar Modern
1) Pasar Modern
Memberikan Kenyamanan dan Prestise Bagi Konsumen
Keberadaan pasar modern dewasa ini
sudah menjadi tuntutan dan konsekuensi dari gaya hidup modern yang berkembang
di tengah – tengah masyarakat Indonesia. Tidak hanya di kota metropolitan
tetapi sudah merambah sampai kota kecil setingkat kecamatan di tanah air.
Tempat-tempat tersebut menjanjikan tempat belanja yang nyaman dengan berbagai
fasilitas dan harga yang menarik. Pasar-pasar modern menyediakan barang-barang
bermutu tinggi dengan harga pasti, dan kadang-kadang menawarkan diskon.
Terlebih lagi, mereka menawarkan aneka pilihan sistem pembayaran, mulai dari
kartu kredit hingga pendanaan untuk barang-barang yang lebih besar. Tempat
pembelanjaan juga bersih, terang, dan memiliki fasilitas yang berfungsi dengan
baik seperti toilet, tempat makan, dan tempat parkir yang luas.
2) Keunggulan
Kompetitif Pasar Modern Merebut Pelanggan Pasar Tradisional.
Pasar modern dan pasar tradisional
bersaing di sektor yang sama yaitu
industri ritel. Di satu sisi, pasar modern dikelola dengan tangan profesional
dan fasilitas yang serba lengkap. Sedangkan di sisi yang lain pasar
tradisional masih terkungkung pada
masalah klasik, pengelolaan yang masih jauh dari profesional, hingga
ketidaknyamanan dalam berbelanja.
Ritel modern mampu menyediakan
segala kebutuhan dengan harga yang relatif tidak kalah dengan pasar tradisional
dari segala jenis barang, dengan kualitas bisa lebih baik. Kalau selama ini
pasar tradisional dianggap unggul dalam memberikan harga relatif lebih rendah
untuk banyak komoditas, dengan fasilitas berbelanja yang jauh lebih baik skala
ekonomis pengecer modern yang cukup luas dan akses langsung mereka terhadap
produsen dapat menurunkan harga pokok penjualan mereka sehingga mereka mampu
menawarkan harga yang lebih rendah. Sebaliknya para pedagang pasar tradisional,
mereka umumnya mempunyai skala yang kecil dan menghadapi rantai pemasaran yang
cukup panjang untuk membeli barang yang akan dijualnya. Keunggulan biaya rendah
pedagang tradisional kini mulai terkikis.
Dulu, keunggulan pasar tradisional
juga didapat dari lokasi. Masyarakat akan lebih suka berbelanja ke pasar-pasar
yang lokasinya lebih dekat. Akan tetapi pusat-pusat perbelanjaan modern terus
berkembang memburu lokasi-lokasi potensial. Dengan semakin marak dan
tersebarnya lokasi pusat perbelanjaan modern maka keunggulan lokasi juga akan
semakin hilang. Kedekatan lokasi kini tidak lagi dapat dijadikan sumber
keunggulan yang berkelanjutan.
Hasil riset AC Nielsen menyatakan
bahwa pada tahun 2005 penjualan produk kebutuhan sehari-hari di pasar
tradisional kembali mengalami penurunan sebesar 2 % sehingga pangsa pasarnya
pada tahun 2005 menjadi hanya 67,6 %. Survei atas 51 kategori produk barang
kebutuhan sehari-hari menunjukkan pangsa pasar tradisional termakan ritel
modern berformat minimarket. Sedangkan hasil survei Dekopin (Dewan Koperasi
Indonesia) menyebutkan bahwa satu pasar modern seperti Indomaret, Alfamart,
serta sejenisnya membunuh 20 warung disekitarnya. Sementara untuk hipermarket
jika jaraknya 2 km dari pasar tradisional bisa menurunkan omset antara 20%
hingga 40%. Di Bandung, APPSI Jawa Barat mengeluhkan bahwa omzet pedagang pasar
tradisional menurun rata-rata 40%, sejak hypermarket hadir di kota Bandung.
3) Pasar Modern
Mengeksploitasi Pemasok (Supplier)
Persoalan berikutnya dari industri
ritel terkait dengan ketidakseimbangan posisi antara pemasok dengan pelaku
usaha ritel. Ritel modern telah menjelma menjadi kekuatan yang luar biasa.
Dalam manajemen rantai pasokan produk sampai ke konsumen, ritel modern kini
menjadi bagian yang sangat menentukan, karena kemampuannya mendatangkan
konsumen sangat besar. Kekuatan pemasok semakin bertambah lemah karena
persaingan antar mereka sendiri juga terjadi dengan sangat ketat, sementara
peritel modern di satu wilayah tidak memiliki banyak pesaing. Akibatnya,
peritel modern dapat dengan leluasa menggunakan kekuatan pasarnya.
Pertama, barang yang dijual di
pasar modern perlu melewati seleksi yang ketat, dimana pemasok kecil yang tidak
mampu memenuhi standar kualitas, biaya penyimpanan barang, dan tidak dapat
menyanggupi jangka waktu pembayaran yang lebih panjang daripada pengusaha ritel
tradisional, akan ditolak. Di titik ini saja, banyak pemasok lokal tak memenuhi
syarat untuk masuk ke pasar modern. Sementara itu, pasar tradisional mulai
ditinggalkan pembelinya, sehingga para pemasok lokal ini dengan sendirinya
kehilangan konsumen.
Jika para pemasok tersebut telah
lolos persyaratan standar kualitas, mulailah para peritel modern tersebut
menerapkan berbagai persyaratan perdagangan (trading terms), sehingga pemasok
berpotensi menjadi lahan eksploitasi bagi peritel modern. Maka muncullah
kemudian yang dikenal sebagai listing fee, minus margin, fixed rebate, term of
payment, regular discount, common assortment cost, opening cost/new store dan
penalty (Tabel 2). Bahkan dalam perkembangannya, trading terms tersebut telah
berubah menjadi sebuah bagian pemasukan sendiri bagi para peritel. Hasil
penelusuran KPPU dalam kasus Carrefour Indonesia, misalnya memperlihatkan bahwa
hipermarket asal Prancis itu sepanjang 2004 mampu meraih pendapatan lain-lain
(other income) hingga Rp 40,19 miliar. Perolehan dari listing fee terbesar,
mencapai Rp 25,68 miliar. Sedangkan dana dari kepesertaan minus margin (jaminan
pemasok bahwa harga jual produk paling murah) Rp1,98 miliar, dan sisanya
Rp12,53 miliar berasal dari pembayaran syarat dagang.
4) Pasar Modern
Meningkatkan PDB, tetapi Menyebabkan Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Ritel merupakan salah satu tulang
punggung ekonomi nasional. Pada tahun 2003, potensi pasar bisnis ritel mencapai
sekitar Rp. 600 Trilyun. Kontribusi sektor ritel terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) mencapai 20%. Dilihat dari kuantitas, dari sekitar 22, 7 juta jumlah
usaha di Indonesia sebanyak 10.3 juta atau sekitar 45% merupakan usaha
perdagangan besar dan eceran. Aprindo menyatakan bahwa sektor ritel merupakan
sektor kedua setelah sektor pertanian, yang menyerap tenaga kerja terbesar di
Indonesia, dengan kemampuan menyerap sebesar 18,9 juta orang.
Adapun perkembangan terakhir
komposisi industri ritel Indonesia digambarkan dalam survey yang dilakukan oleh
AC Nielsen dalam tahun 2004-2005 (Lampiran I). Data survey ini memperlihatkan
bahwa secara kuantitas, jumlah pelaku usaha ritel tradisional jauh diatas
jumlah pelaku usaha ritel modern dengan selisih kuantitas yang sangat
signifikan. Namun, omset ritel modern berada di kisaran Rp 50-60 triliun per
tahun, dengan omset sisanya sekitar Rp 550-600 triliun dari ritel tradisional,
maka sangat jelas bahwa omset ritel modern tersebut jauh diatas ritel
tradisional (KPPU:2007).
Berbagai jenis ritel modern telah
memusatkan kekuatan modal besar pada satu orang atau kelompok dagang. Hal ini
membuat persaingan menjadi tidak seimbang dengan pasar-pasar tradisional yang
selama ini menjadi salah satu penggerak roda kegiatan perekonomian di suatu
wilayah serta merupakan salah satu sarana publik yang mendukung dan membangun
kegiatan ekonomi sebagian besar masyarakat Indonesia. Penguasaan pasar oleh
ritel modern lambat laun akan meningkatkan penumpukan kapital pada golongan
ekonomi menengah keatas, sehingga pemerataan ekonomi tidak tercapai. Penyebab
utama ketimpangan distribusi pendapatan adalah sangat tidak meratanya
kepemilikan aset (kekayaan, sumber daya, atau faktor produksi).
5) Investasi
Asing dalam Pasar Modern Dapat Mengurangi Devisa
Terdapat banyak penyebab dari
pesatnya pertumbuhan pasar modern di Indonesia. Dorongan pertama lahir dari
munculnya kebijakan yang pro terhadap liberalisasi ritel, antara lain
diwujudkan dalam bentuk mengeluarkan bisnis ritel dari negative list bagi
Penanaman Modal Asing (PMA) sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden No
118/2000 tentang Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka
Dengan Persyaratan Tertentu Bagi Penanaman Modal. Kebijakan tersebut telah
menyebabkan tidak adanya lagi pembatasan kepemilikan dalam industri ritel.
Akibatnya, pelaku usaha di industri ini terus bermunculan. Bahkan perkembangan
terakhir memperlihatkan munculnya sinyal akan masuknya peritel asing dalam
segmen ritel yang selama ini terlarang bagi penanaman modal asing (PMA) seperti
di minimarket dan convenience store. (KPPU:2007)
Padahal, dampak investasi asing
dalam jangka panjang dapat mengurangi penghasilan devisa, baik dari sisi neraca
transaksi berjalan maupun neraca modal. Neraca transaksi berjalan bisa memburuk
karena adanya impor besar-besaran atas barang-barang setengah jadi dan barang
modal, sedangkan neraca modal makin memburuk dikarenakan adanya pengiriman
kembali keuntungan, hasil bunga, royalti, biaya-biaya jasa manajemen, dan
dana-dana lainnya ke negara asalnya. (Todaro & Smith,2003: 173)
Sebaliknya, bila pasar tradisional
sanggup berjaya di Indonesia, maka akan berpengaruh positif bagi neraca
pembayaran Indonesia. Apabila mayoritas masyarakat Indonesia lebih memilih
berbelanja di pasar tradisional, maka invasi pasar modern akan mampu ditahan.
Produk-produk lokal berkualitas tinggi yang saat ini dijual di pasar modern bisa
dialihkan menjadi komoditas ekspor. Sedangkan kebocoran akibat pelarian
dana-dana dalam negeri ke luar negeri dapat ditekan.
B. Model
Pengembangan Pasar Tradisional
Setelah usaha ritel kelas kakap
saling tidak mau kalah dalam mengembangkan bisnisnya di berbagai tempat,
termasuk ke wilayah permukiman melalui minimarket, tidak sedikit pengecer atau
toko kelontong yang omset penjualannya menurun dan banyak pasar tradisional
mati karena ditinggalkan pembelinya. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan solusi
bagi seluruh stakeholders yang eksistensinya terancam oleh perkembangan pasar
modern, agar kepemilikan aset tidak lagi terpusat pada segelintir orang. Solusi
tersebut dapat digambarkan melalui model berikut.
Gambar I. Model Pengembangan Pasar Tradisional
1) Pemerintah
Pemihakan pemerintah kepada
pedagang pasar tradisional dapat diwujudkan dengan memberikan kesempatan kepada
pedagang pasar tradisional untuk turut memetik keuntungan dari peluang
pertumbuhan permintaan masyarakat dan membantu mengantisipasi perubahan
lingkungan yang akan mengancam eksistensi mereka, serta melibatkan pelaku
ekonomi golongan ekonomi lemah. Pemihakan kepada pedagang pasar tradisional ini
juga dapat dilakukan dengan membantu memperbaiki akses mereka kepada informasi,
permodalan, dan hubungan dengan produsen atau supplier (pemasok). Karena sifat
pedagang pasar tradisional yang umumnya lemah dalam banyak hal, maka peran
pemerintah lah untuk secara aktif memberdayakan pedagang tradisional. Untuk
itu, diperlukan adanya regulasi yang secara tegas memihak pasar tradisional dan
mengendalikan pertumbuhan pasar modern (retailer besar).
Kondisi yang tersingkap dalam studi
penelitian yang dilakukan oleh lembaga penelitian Smeru yang dipublikasikan
pada November 2007 menunjukkan perlunya
regulasi yang sistematis mengenai pasar modern, termasuk yang menyangkut isu
hak dan tanggung jawab pengelola pasar dan pemda, dan juga sanksi atas
pelanggaran aturan tersebut. Baik pemerintah pusat maupun daerah seyogianya
bertindak tegas sesuai aturan yang berlaku. Terlebih lagi, yang terpenting
adalah menjamin bahwa aturan tersebut dipahami oleh para pemangku kepentingan.
Pemerintah pusat dan daerah harus memiliki mekanisme kontrol dan sistem
pemantauan untuk menjamin kompetisi yang sehat antara pengusaha ritel modern
dan pengusaha ritel tradisional.
Regulasi yang memihak pasar
tradisional hendaknya mengandung unsur-unsur pembagian zona usaha, jam buka,
harga barang, dan jenis retailer. Zona usaha antara pasar modern dan pasar
tradisional perlu ditentukan dalam jarak yang tidak merugikan pasar
tradisional. Ini tidak cukup hanya dengan menentukan jalan mana yang boleh atau
tidak boleh dijadikan lokasi pasar modern, melainkan juga harus memperhitungkan
jaraknya dengan pasar tradisional yang sudah ada. Aprindo pernah mengusulkan
pembagian zona untuk pendirian ritel. Zona ini mengambil titik tertentu sebagai
pusat. Misalnya, untuk zona pusat adalah Jembatan Semanggi, Istana, dan Glodok,
tergantung kesepakatan. Di zona satu, misalnya, yang jaraknya 25 km dari pusat
hanya boleh berdiri ritel dengan luas maksimum 2.500 meter persegi; sedang zona
dua, 25-40 km dari pusat, hanya boleh berdiri ritel dengan luas 5.000 meter
persegi. Di luar zona satu dan dua baru boleh berdiri ritel raksasa, hipermarket,
yang luas lantainya lebih dari 5.000 meter persegi. Dengan demikian, dengan
sendirinya pendirian pasar modern baru perlu memperhitungkan banyak hal terkait
peraturan zonasi ini.
Akan tetapi usulan itu kurang
didengar para penentu kebijakan di daerah. Akibatnya, pasar modern kini meruyak
di mana-mana tanpa mengindahkan ketentuan lokasi dan zona tadi. Adanya Keppres
yang mengatur pasar modern memang lebih memiliki daya tekan dibandingkan dengan
SK Menteri dan Perda. Namun, Keppres tidak memuat sanksi pidana bagi pasar
modern bila terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut karena pemberlakuan
sanksi dalam peraturan presiden dianggap melanggar perundang-undangan nasional.
Dengan demikian, dibutuhkan undang-undang di tingkat nasional yang lebih memiliki
kekuatan hukum dan ketegasan penegakan hukum dalam pelaksanakannya.
Jam buka pasar modern dan jenis
usaha pasar modern juga perlu ditentukan, agar keberadaannya tidak menyebabkan
perpindahan pembeli dari pasar tradisional ke pasar modern. Selain itu, yang
terpenting adalah harus ada perbedaan harga barang antara pasar tradisional dan
pasar modern.
Selama ini, harga-harga di pasar
modern, terutama untuk barang kebutuhan pokok, tidak jauh berbeda dengan
harga-harga di pasar tradisional dan dengan kualitas yang tak jarang jauh lebih
tinggi. Bahkan harga beberapa barang di pasar modern, seperti gula pasir dan
minyak goreng kemasan malah cenderung lebih murah daripada di pasar
tradisional, karena pasar modern memperoleh barang dari distributor yang tingkatannya
lebih tinggi daripada distributor yang menyalurkan barang yang sama ke pasar
tradisional. Hal ini menyebabkan konsumen dengan sendirinya lebih memilih
berbelanja di pasar modern daripada di pasar tradisional. Untuk itu, diperlukan
adanya regulasi yang mengatur harga barang di pasar tradisional dan pasar
modern. Strategi yang dapat digunakan untuk mengatur harga barang antara lain
dengan mewajibkan selisih harga dan peraturan perpajakan.
Dengan harga yang relatif sama dan
produk yang seragam, maka terjadi rebutan konsumen antara pasar modern dan
pasar tradisional. Karenanya, dalam peraturan perpajakan perlu disusun regulasi
yang lebih ketat. Harga produk di pasar modern tidak boleh sama atau lebih
murah daripada harga barang sejenis di pasar tradisional, sehingga pasar modern
tidak bisa menekan harga di tingkat pemasok lokal maupun menarik konsumen dari
kalangan menengah kebawah. Untuk mempertahankan agar harga di pasar modern
tetap tinggi, dapat digunakan instrumen pajak pertambahan nilai bagi barang-barang
di pasar modern. Sedangkan retribusi di pasar tradisional harus lebih efisien
dan berdaya guna.
Dengan membayar berbagai retribusi
di pasar tradisional, sudah sewajarnya apabila para pedagang mendapatkan
imbalan nyata, yakni kenyamanan berdagang dan kebersihan lingkungan pasar.
Seperti banyak dinyatakan para pedagang, kasus pencopetan, pencurian barang
dagangan di kios dan kondisi pasar yang kotor dan becek merupakan kejadian dan
potret sehari-hari. Keadaan ini boleh jadi dipicu oleh minimnya dana perangsang
peningkatan pelayanan. Di Depok, misalnya, dari total retribusi yang diterima
dan disetor ke pemda, hanya 5% saja yang dikembalikan untuk uang perangsang
peningkatan pelayanan. Dana perangsang itu tidak memadai untuk peningkatan
pelayanan, termasuk perawatan infrastruktur pasar. Perda yang menjadi acuan
penting sistem pengelolaan retribusi seyogianya tidak hanya mengatur jumlah dan
proses penarikan retribusi, tapi juga mengatur secara tegas penyediaan layanan
bagi para pedagang. Dengan demikian, selain menjadi acuan hukum, perda tersebut
akan menjamin bahwa penanganan retribusi menjadi bersifat integral dengan
pengelolaan infrastruktur pasar dan penyediaan layanan imbal balik bagi
pedagang.
2) Pengelolaan
Pasar
Seiring dengan pembentukan regulasi-regulasi
ini, pemerintah perlu mendukung strategi pemasaran pasar tradisional dengan
membenahi aspek fisik dan manajemen pengelolaan pasar tradisional secara lebih
profesional, karena dengan meningkatnya persaingan di bisnis ritel, ada
beberapa hal yang harus menjadi landasan bagi pembuat kebijakan untuk menjaga
kelangsungan hidup pasar tradisional. Pertama, memperbaiki sarana dan prasarana
pasar tradisional. Masalah keterbatasan dana dapat diatasi dengan melakukan
kerja sama dengan pihak swasta seperti pasar tradisional di Bumi Serpong Damai.
Konsep bangunan pasar harus diperhatikan, sehingga permasalahan seperti konsep
bangunan yang tidak sesuai dengan keinginan penjual dan pembeli dan kurangnya
sirkulasi udara tidak terulang kembali. Kedua, melakukan pembenahan total pada
manajemen pasar. Kepala pasar yang ditunjuk harus memiliki kemampuan dan
kepandaian manajerial. Ketiga, mencari solusi jangka panjang mengenai PKL yang
salah satunya adalah menyediakan tempat bagi PKL di dalam lingkungan pasar. (KPPU:
2007)
Sedangkan temuan studi penelitian
yang dilakukan Lembaga Penelitian Smeru (November 2007) merekomendasikan
kebijakan dalam rangka menjamin berkembangnya pasar tradisional, berkisar pada
upaya peningkatan daya saing pasar tradisional. Salah satu rekomendasinya
adalah perbaikan infrastruktur yang mencakup terjaminnya kesehatan yang layak,
kebersihan yang memadai, cahaya yang cukup, dan keseluruhan kenyamanan
lingkungan pasar. Pemda dan pengelola pasar tradisional harus secara nyata
berinvestasi pada perbaikan pasar tradisional dan menetapkan standar layanan
minimum. Ini tentu juga berimplikasi pada penunjukkan orang-orang yang tepat
sebagai pengelola dan memberikan kewenangan yang cukup untuk mengambil
keputusan sehingga mereka tidak hanya bertindak sebagai pengumpul retribusi.
Juga penting untuk meningkatkan kinerja pengelola pasar melalui pelatihan atau
evaluasi berkala. Lebih lanjut, pengelola pasar harus secara konsisten
melakukan koordinasi dengan para pedagang untuk mencapai pengelolaan pasar yang
lebih baik.
Hal yang tidak kalah penting adalah
pengembangan sumber daya manusia pengelola pasar tradisional. Konsep manajemen
pasar tradisional saat ini yang mengedepankan income-sentris oleh para kepala
pasar, harus diubah dengan menyeimbangkan antara pemberian pelayanan yang baik
kepada komunitas pasar, baik itu pemasok, pedagang, pembeli maupun pihak-pihak
lain yang memanfaatkan jasa pasar.
Kepala pasar selain sebagai penarik retribusi, harus mampu sebagai konsultan
bisnis. Artinya, ketika para pedagang mengalami kesulitan dalam usaha, ia dapat
memberikan bantuan pemikiran.
3) Supplier
Ditinjau dari sisi lain, keberadaan
ritel modern sebenarnya telah mematikan usaha kecil, baik petani kecil,
peternak atau usaha-usaha kecil lainnya. Karena memakai logika pasar dalam
kapitalisme maka persaingan menjadi hal yang wajib hukumnya. Petani kecil akan
tergantung (kalau tidak mau terlindas) oleh tengkulak atau bandar yang menjadi
pemasok retail tersebut untuk hasil-hasil pertanian. Demikian juga di usaha-usaha kecil lainnya
mengalami hal serupa. Karena tergantung maka nilai harganya tidak memiliki
harga tawar dan lebih dipatok oleh pemasok tersebut. Usaha-usaha kecil yang
tidak bisa masuk dalam retail modern akan mati dengan sendirinya, karena tidak
ada ruang untuk pasar tradisional.
Terkait dengan produsen pemasok,
pedagang pasar tradisional perlu dibantu dalam mengefisienkan rantai pemasaran
untuk mendapatkan barang dagangannya. Pemerintah dapat berperan sebagai
mediator untuk menghubungkan pedagang pasar tradisional secara kolektif kepada
industri untuk mendapatkan akses barang dagangan yang lebih murah.
Alternatif lain adalah memajukan
kerjasama untuk membangun pola hubungan saling menguntungkan antara organisasi
massa petani atau penghasil produksi kecil bekerja sama dengan pengelola pasar
tradisional. Organisasi petani atau penghasil produksi bisa menjual hasil
produksi dengan harga yang relatif lebih rendah dari harga pasar modern,
sementara pasar tradisional bisa mendapatkan harga lebih murah yang dapat
dinikmati anggotanya bahkan masyarakat sekitar.
Keuntungan ini didapat dari hasil memangkas biaya yang selama ini
dipakai untuk tengkulak, bandar maupun pemasok-pemasok. Hal lainnya adalah transportasi akan lebih
murah dan kepastian konsumennya terjamin.
Untuk itu tingkat rutinitas dan kualitas penyediaan barang kebutuhan
serta tata kelola manajemen di masing-masing organisasi harus disiapkan dengan
matang. Konsep ekonomi inilah yang merupakan cikal-bakal dari ekonomi
kerakyatan yang disandarkan pada kekuatan masing-masing kelompok dan
kebutuhannya, sehingga nafsu serakah dan produksi yang berlomba tidak akan lagi
terjadi.
4) Konsumen
Perlu dipahami bahwa pasar (market)
selalu akan terbagi atas beberapa segmen baik secara geografis, demografis,
psikologis, psikografis, maupun sosiokultural. Setiap segmen pelanggan memiliki
pola perilaku yang berbeda satu sama lain. Dari perspektif ini, pasar
tradisional memiliki berbagai keunggulan yang tak kalah dengan pasar modern.
Pasar tradisional merupakan gambaran sosial, ekonomi, teknologi, politik,
agama, struktur sosial, kekerabatan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Budaya dan perilaku konsumen
Indonesia yang gemar tawar-menawar adalah faktor penting yang bahkan bisa
dikatakan sebagai keunggulan kompetitif dari pasar tradisional, sebab hal ini
hampir tidak mungkin diterapkan oleh ritel-ritel modern. Keunggulan lain adalah
kedekatan antara penjual dan pembeli yang biasanya ada di ritel tradisional
jarang ditemukan pada ritel modern sekalipun mereka seringkali mengatasi dengan
database pelanggan namun tidak terasa alami sebagaimana hubungan yang dibangun
antara penjual-pembeli di pasar tradisional. Persepsi pelanggan mengenai harga
pasar tradisional yang lebih murah juga menjadi faktor lain, belum lagi di
pasar tradisional pelanggan bisa membeli sesuai jumlah (minimum) yang
diperlukan sementara di ritel modern sudah dikemas dengan ukuran-ukuran
standar.
Lebih lanjut, jika pembedaan produk
dan harga antara pasar modern dan pasar tradisional telah dilakukan, maka
masyarakat akan memiliki pilihan antara berbelanja di pasar modern yang
berkualitas impor dan berprestise tinggi tapi mahal, atau berbelanja di pasar
tradisional yang murah. Dilihat dari psikologi, pendapatan, dan kebiasaan
berbelanja masyarakat, masyarakat kalangan menengah keatas akan memilih
berbelanja di pasar modern, sedangkan bagi mayoritas masyarakat Indonesia yang
berekonomi lemah tersedia pasar tradisional. Tentu saja kebijakan ini harus
pula disertai dengan upaya untuk meningkatkan kualitas produk lokal dan
pengembangan teknologi dalam negeri, agar kualitas produk yang dijual di pasar
tradisional bisa bersaing dengan produk yang dijual di pasar modern.
Pasar tradisional yang dikelola
dengan baik juga bisa memiliki daya tarik sebagai tempat tujuan wisata, karena
memiliki unsur alam, budaya, dan sifatnya yang unik dan khas. Daya tarik wisata
ini juga bisa diperoleh dari makanan dan cinderamata khas daerah. Beberapa pasar tradisional yang
berhasil eksis dengan memanfaatkan daya tarik wisatanya antara lain Pasar Kuin
(pasar apung) di Banjarmasin, Pasar Klewer di Solo, dan Pasar Sukawati di Bali.
Tujuan akhir dari penyusunan model
pengembangan pasar tradisional ini diharapkan dapat memperkuat pasar
tradisional untuk bertahan dalam persaingan dengan pasar modern. Dengan image
harga barang yang lebih murah, kualitas produk yang tak kalah, manajemen
pengelolaan yang profesional, dan pendekatan psikologis, pasar tradisional akan
memiliki bargaining position yang seimbang dengan pasar modern di mata masyarakat
serta memperbesar potensinya sebagai roda penggerak perekonomian Indonesia.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1.
Keberadaan pasar modern berpengaruh positif bagi konsumen dan memberikan
sumbangan yang cukup besar bagi PDB. Namun, perkembangan pasar modern saat ini
berpengaruh negatif terhadap eksistensi pasar tradisional dan pemasok mikro,
dengan mengambil alih pelanggan pasar tradisional dan mengeksploitasi pemasok,
yang mengakibatkan penumpukan kapital pada golongan ekonomi menengah keatas,
sehingga pemerataan ekonomi tidak tercapai. Dalam jangka panjang, penguasaan
pasar modern yang berasal dari investasi asing juga akan merugikan neraca
pembayaran Indonesia.
2.
Untuk mempertahankan eksistensi dan meningkatkan potensi pasar
tradisional sebagai penggerak ekonomi rakyat kecil, diperlukan sebuah model
pengembangan pasar tradisional, dimana pemerintah berperan sebagai pengatur
alokasi peran para stakeholders dan penyusun regulasi. Regulasi mengenai pasar
tradisional dan pasar modern harus mengatur tentang pembagian zona usaha, jam
buka, harga barang, dan jenis retailer. Strategi yang dapat digunakan untuk
mengatur harga barang yaitu dengan melakukan pembedaan produk dan harga, serta
melalui peraturan perpajakan dan pengelolaan retribusi yang efisien. Disamping
itu juga diperlukan sumber daya manusia pengelola pasar tradisional yang
bermanajemen modern namun tetap mempertahankan cita rasa khas pasar
tradisional.
B. Saran
1) Bagi
Pemerintah
Adanya regulasi akan memberikan angin segar bagi pasar tradisional
yang saat ini kian terpuruk.
2) Bagi
Masyarakat
Memberikan gambaran yang lebih kritis mengenai modernisasi
tanpa meninggalkan budaya dan karakteristik Indonesia serta tetap memihak
rakyat kecil.
3) Bagi Peneliti
Memberikan wacana untuk mendalami masalah publik dan
permasalahan di sekitar kita.
DAFTAR PUSTAKA
.
id.wikipedia.org/wiki/pasar
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. 2007. Saran Pertimbangan
terhadap Rancangan Peraturan Presiden tentang Penataan dan Pembinaan Usaha
Pasar Modern dan Usaha Toko Modern. www.kppu.go.id [27 Maret 2008].
Napitupulu, Albert. Masa Depan Pasar Tradisional.
www.google.com [27 Maret 2008].
Peraturan Presiden RI No. 112 Tahun 2007 Tentang Penataan
dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern.
Sinaga, Pariaman. 2006. Penelitian Dampak Keberadaan Pasar
Modern (Supermarket dan Hypermarket) Terhadap Usaha Ritel Koperasi/Waserda dan
Pasar Tradisional. Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM: nomor 1 tahun 1-2006:
85-99.
Suryadarma, Daniel, dan kawan-kawan. 2007. Laporan
Penelitian Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di
Daerah Perkotaan di Indonesia. www.smeru.or.id.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2003. Pembangunan
Ekonomi di Dunia Ketiga Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Munandar Haris,
Penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Economic Development Eigth
Edition.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2003. Pembangunan
Ekonomi di Dunia Ketiga Jilid Dua. Edisi Kedelapan. Munandar Haris, Penerjemah.
Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Economic Development Eigth Edition.
www.bisnis.com
www.prakarsa-rakyat.org
www.republika.co.id
www.sinergi-indonesia.com
www.smeru.or.id
www.tempointeraktif.com
0 comments:
Post a Comment